Tiga tahun lebih udah Presiden Jokowi menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia dan semasa itu termasuk publik digaduhkan oleh drama politik Indonesia yang lumayan sengit. Beragam isu digunakan sebagai senjata sekaligus komoditas politik.

Dampaknya termasuk luar biasa besar, tak sedikit penduduk Indonesia turut tersulut dan menjadi loyalis dan buzzer yang lumayan meresahkan. Tak cuma itu, keakraban sessama warga negara pun mulai retak. Ihwal fenomena ini ibarat alarm yang menandakan daruratnya bet 10 keberagaman dan persatuan Indonesia.

Melihat kenyataan demikian, Presiden Jokowi sebagai orang nomer wahid di republik ini, dibebankan sebuah tanggung jawab ethical yang begitu besar yakni menghadirkan rasa kebersamaan sesama anak bangsa. Mengingat Indonesia adalah negara bersama dengan 1.340 suku bangsa dan menjadi lambang keberagaman.

Rasa kebersamaan dimaknai sebagai prinsip negara membentuk kepercayaan publik antar masyarakat-negara maupun solidaritas antar warga melalui bisnis akomodasi atas keperluan masing-masing entitas dan kelompok masyarakat. Menjadi sebuah keniscayaan jika rasa kebersamaan kudu dikedepankan oleh pemerintah yang berkuasa di manapun.

Mari kami merefleksi ingatan kami terhadao sosok almarhum Gus Dur. Walaupun terbilang kontroversial, kepemimpinan almarhum Gus Dur dalam mengenai rasa kebersamaan patut diacungi jempol. Contohnya, sebagaimana cara pandang Gus Dur pada Papua.

Selama ini Papua selamanya dilukiskan sebagai tempat yang keterbelakangan dalam berbagai hal. Tidak cuma itu, apalagi pemerintah pusat termasuk sering mencurigai Papua sebagai entitas yang tidak mau diatur lantaran timbulnya kelompok-kelompok separatis.

Dari pemikiran demikian, pemerintah pada mulanya maupun sesudahnya selamanya laksanakan treatment pada Papua bersama dengan dua pilihan, jika tidak bersama dengan infrastruktur, ya invansi militer.

Faktanya, dua macam cara ini tidak membawa dampak penting bagi Papua dalam menumbuhkan slot garansi kepercayaan kepada negara. Apalagi invansi militer, yang justru tambah menyebabkan impuls perlawanan kepada negara.

Menyadari bakal mengenai ini, Gus Dur membawa cara ketiga. Ketika banyak rezim laksanakan stereotipe lambang bintang kejora sebagai suatu pengkhianatan negara, Gus Dur justru lihat lambang tersebut sebagai entitas lokal yang kudu diakui, setara bersama dengan Daerah Istimewa Yogyakarta atau Aceh misalnya.

Aksi heroik mirip termasuk pernah dikerjakan Gus Dur manakala Ia memperjuangkan kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia. Gus Dur melalui kebijakannya mencabut Inpres nomer 14/1967 dan menggantinya bersama dengan Keppres nomer 6/2000.

Kepres tersebut menjadi angin segar bagi etnis Tionghoa untuk memperoleh haknya, sekaligus menggerakkan kewajibannya setara bersama dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Cara Gus Dur memimpin sebetulnya sederhana, bakal tapi berdampak besar sebagai modal membangun sebuah negara berlandaskan hati nurani.

Pemimpin Indonesia ke depan semestinya kudu studi berasal dari Gus Dur. Pasalnya, Indonesia merupakan negara bersama dengan berbagai macam suku bangsa. Sehingga tahu memimpin Indonesia mirip bersama dengan memimpin keberagaman. Dalam suatu negara yang plural, pemerintah bukanlah realitas yang terpisah berasal dari masyarakat.

Pemerintah adalah perwujudan diri penduduk ke level yang lebih tinggi. Penghormatan atas nilai-nilai yang berada di dalam penduduk kudu menjadi pelumas bagi roda pemerintahan.

Tidak lama lagi Indonesia bakal merayakan pesta demokrasi, perhelatan akbar slot bet 200 di negara ini dan harapan kami bersama dengan kedepan, siapa pun yang memimpin Indonesia haruslah sosok yang mampu membangun rasa kebersamaan untuk Indonesia selaras dan Indonesia yang lebih baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *